I.
PENGANTAR
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII.
Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode
pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak
Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi
kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita
masing-masing dalam menjalankan Islam.
Selama ini
proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih
berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj
muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah
madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam
bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat
cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar
belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana
selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj
al-fikr (metode berpikir).
PMII
melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain
karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku.
Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi
pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar
baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Bagi PMII
Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa
dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu
relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita,
pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII
sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah
kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan
agama.
SKETSA
SEJARAH
Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan
sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status
Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah
antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.
Di wilayah
sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’
ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah
ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh
kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara
mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah
Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena
tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi
kepemimpinan Muawiyah.
Selain
tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala
sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur
(af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.
Di antara
kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu
Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal
dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas
keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari
jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik
antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya
mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan
tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk
mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik
ketika itu.
Seirama
waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama
setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik
Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn
Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan
Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan
faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti
benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.
Indonesia
merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal
Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah
penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung
secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal
berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.
PENGERTIAN
Secara
semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti
pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut
aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).
Al-Sunnah
mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan
ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah
berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan,
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabi’in.
Nahdlatul
‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham
Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun
tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan
dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat
(madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali),
dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid
Al-Ghazali.
Selama
kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja
tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan
dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja
dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?
Aswaja
sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan
produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah
tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan
situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk
menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu
adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?
Dua gugatan
tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun
metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti
sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj
al-fikr atau metode berpikir.
ASWAJA
SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Kurang
lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja
sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat
Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku
tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep
dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari
gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja
ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan
ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam
pengertian Aswaja.
PMII
memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas
dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab
melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna
Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Sebagai
manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun
(netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat
tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan
posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang
seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal.
Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat
menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap netral
(tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan
sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat
dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan
Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja,
oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong
kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga
berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun
tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik
berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh)
terefleksikan dalam kehidupan sosial,
cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi
mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau
pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam
budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata
realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT
memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya.
Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan
tasamuh.
PRINSIP
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut
ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip
tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
AQIDAH
Dalam
bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan),
berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga
abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan
asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah
tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis
berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah
yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama
(Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang
kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu
kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan
sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju
jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya
bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk
umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap
manusia.
Pilar yang
ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan
dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka
yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.
BIDANG
SOSIAL POLITIK
Berbeda
dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan
berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya
memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan
Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan
komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya
sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi
kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah
wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh
berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau
negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
Prinsip
Syura (musyawarah)
Negara
harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap
keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah
adalah sebagai berikut:
“Maka
sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang
beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan
apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang
apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42:
36-39)
Prinsip
Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.
Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan
keadilan.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
Prinsip
Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara
wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib
hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan
manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima),
yaitu:
Hifzhu
al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk
menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
Hifzhu
al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin
kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan
Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau
kepercayaan kepada warga negara.
Hifzhu
al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk
menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib
memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat
rakyat sebagai manusia.
Hifzhu
al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas,
garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya
(etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu.
Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup
di wilayah negaranya.
Hifzh
al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun
kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya
karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan
memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.
Al-Ushulul
Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia
modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau
prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan
sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak
kemudian hari.
Prinsip
Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat
Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam
sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di
tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka
memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin
kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata
hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di
dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
BIDANG
ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir
seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijma’
Qiyas
Al-Qur’an
sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah
oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara
As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses
istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai
komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah
sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus
(mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat
As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut
Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok
legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf
dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam
Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa
menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.
Qiyas,
sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama.
Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain
yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
TASAWUF
Imam
Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan
dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau
berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”
Imam Abu
Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa
saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan
Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah
jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling
tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain
Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang
membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada
semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid,
lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah
membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam
Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari
keterikatan selain kepada-Nya.
Ketidakterikatan
kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus
dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat
duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari
keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa?
karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba
dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh
sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi.
Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses,
Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi
yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai
pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin
al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada
maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan
duniawi.
Urusan
duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan),
kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu
kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum,
persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus
ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi
secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan
itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara
aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap
potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
PENUTUP
Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi
pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam
makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat
ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian
rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian
dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai
metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar
teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya
pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita
upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami
sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut,
semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan
gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh
menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif
kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi
kebutuhan objektif.
Kunjungi Toko Online Kami :
1. Tas : taswanitaterbarubandung.com
2. Baju Muslim : modelbajumuslimterbaru.net
3. Sepatu Kets : sepatuketswanita.com
4. Toko Sepatu Online : tokosepatuonlinecibaduyut.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar